Ini ceritaku waktu berlibur bulan lalu.
Awalnya hampir batal rencanaku untuk mengunjungi Indonesia tahun ini.
Banyak pertimbangannya, tentu salah satunya karena alasan keuangan yang pasti bakal melebihi anggaran belanjaku, hahaha! 😜
Tapi, aku bersyukur akhirnya ada kesempatan untuk berangkat bulan Juli-Agustus lalu.
Kali ini tujuanku tidak hanya untuk berlibur saja, melainkan untuk bermain sambil bekerja.
Yup, aku datang untuk menyelenggarakan acara tahunan Encyclo Parents bersama seorang teman jaman kami berkuliah bersama.
Indonesia membuatku cukup terkejut. Aku merasa cukup ndeso waktu pertama kali menginjakkan kaki di Terminal 3, bandara Soekarno-Hatta. Ada pilihan scanning e-gate di pintu imigrasinya, persis seperti Taiwan, hahaha! Buat yang penasaran, aku memang baru kembali ke Indonesia bulan Juli lalu, setelah satu tahun berada di Taiwan. Rasanya aneh juga melihat dimana-mana ada tanda bayar pakai GO-PAY dan OVO. Wah, Indonesia benar-benar memukau deh!
Sampai akhirnya tiba di rumah orangtua di Solo, aku baru menyadari betapa udara Indonesia dan Taiwan sungguh berbeda😥. Di minggu ketiga kedatanganku, batuk dan flu menghadang. Rasanya aneh sekali tiba-tiba malah sakit di negara sendiri. Nah, ini mungkin teman-teman pembaca di Indonesia bisa merenung dan mengkaji ulang, cuaca panas dan dingin yang ekstrim benar-benar mengurangi kenyamanan untuk tinggal di Indonesia😩. Apa yang seharusnya kita lakukan? Please don’t just blame the government or even the weather, but let’s do something, create something!
Menurutku, masyarakat Indonesia sendiri sudah banyak yang membekali diri untuk paham tentang isu-isu terkini. Ya entah isu lingkungan, pendidikan, kesehatan, politik, ekonomi, bahkan SOSIAL BUDAYA. Aku lihat di beberapa restoran sudah tidak menyediakan sedotan plsatik. Bahkan di restoran cepat saji sudah ada tulis dimana-mana yang mengajak pelanggannya untuk berinisiatif mengembalikan peralatan makan mereka ke tempat sampah (self-service). Sungguh, melihat itu semua bikin hati adem dan senyum-senyum sendiri lho!
Friends, we all should do what President Soekarno declared about youth as the AGENT of CHANGE. Masa iya, kita mau terus-terusan diladenin dan bersikap skeptis dengan kondisi lingkungan global saat ini? Mulai berpikir kritis, latih diri kita untuk berpikir dengan pola SEBAB-AKIBAT. Selanjutnya buat yang belum tahu, ada kumpulan para seniman nasional dan mancanegara yang berusaha mengedukasi masyarakat Indonesia dengan menyelenggarakan ARTJOG MMXIX di Yogyakarta, 25 Juli sampai 25 Agustus 2019 ini lho. Buat yang belum berkunjung, ayo sempatkan waktu untuk datang rame-rame bersama keluarga dan teman-teman kalian. Disana kita bisa lihat bagaimana para seniman pun mengangkat tema besar untuk mengajak masyarakat lebih paham dan sadar akan pentingnya menjaga kelestarian alam dan kebersihan lingkungan. It is truly an epic exhibition! Nyesel banget kalau sampai nggak dateng.🙋
Masih dalam rangka Dirgahayu Indonesia, kali ini aku mau bahas tentang nasionalisme menurut pengertianku. Kita bahas dulu menurut Wikipedia ya. Berikut adalah arti nasionalisme menurut Wikipedia.
“Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris nation) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia yang mempunyai tujuan atau cita-cita yang sama dalam mewujudkan kepentingan nasional, dan nasionalisme juga rasa ingin mempertahankan negaranya, baik dari internal maupun eksternal.”
Aku sengaja garisbawahi kalimat terakhirnya, karena itulah poin yang sering kali dilupakan banyak orang. Nasionalisme punya pengertian yang cukup luas. Bukan berarti mereka yang lahir, tumbuh, dan bekerja pada pemerintah bersikap nasionalis atau memiliki paham nasionalisme. Bukan berarti mereka yang berpendidikan, berkarir, hingga berkeluarga di luar negeri bersikap apatis sepenuhnya terhadap kondisi ibu pertiwi. Bukan begitu karena nasionalisme lebih dari sekadar itu.
Ada satu pertanyaan menarik dari salah satu peserta diskusi dari Mesir saat aku membagikan pengalamanku sebagai perwakilan Indonesia dalam program pertukaran pelajar di Taiwan tahun 2014 lalu. Dia bertanya apakah alasanku untuk menikah dengan orang asing (WNA)? Cukup unik untuk diulik bukan? Pertanyaan itu cukup membuatku merenung sesaat. Sungguh tidak terduga akan ada pertanyaan seperti itu.
Aku berusaha menjawabnya dengan singkat. Bagiku, menjadi ambassador atau perwakilan bangsa Indonesia di negara lain sangat menarik dan menantang di waktu yang bersamaan. Orang asing bisa mengenal kita, bangsa Indonesia, dari kepribadian kita juga tentunya. Mulai dari cara berpikir, merasa, dan bersosialisasi. Semuanya adalah bagian dari pengaruh budaya. Sebuah program pertukaran budaya bukan hanya sekadar mengajak turis asing berjalan mengunjungi tempat wisata dan mencicipi aneka makanan lezat khas nusantara. Pertukaran budaya lebih dari sekadar itu.
Sesungguhnya, ketika kita menikah dengan orang asing, detik itulah kita benar-benar menjadi perwakilan bangsa Indonesia. You are the true Indonesian ambassador once you marry to a foreigner.🙋 Pasangan kita bisa melihat bagaimana cara kita berpikir, merasakan sesuatu, terlebih lagi saat kita mengambil tindakan untuk berinteraksi sosial dengan orang lain. Menurutku, sebagai bangsa Indonesia, kemampuan untuk berpikir kritis dan logis masih perlu banyak dilatih di Indonesia. Demikian juga dengan membangun toleransi dan keterbukaan. Maka, aku jelaskan bahwa tanpa kusadari sejak awal, timbul keinginan untuk terus membentuk pola pikir, cara bekerja, hingga kepercayaan diri saat berinteraksi sosial dengan teman asing lainnya. Jadi, nasionalisme lebih luas dari sekadar mampu berbahasa Indonesia secara fasih dan mengajarkannya pada pasangan berbeda kewarganegaraan. Sungguh, nasionalisme lebih dari sekadar itu.
Memang berbagai cara seperti wisata budaya dan pariwisata dengan mengenalkan aneka makanan tradisional hingga berkunjung dari satu tempat wisata ke tempat lainnya merupakan langkah umum untuk menunjukkan karakter bangsa Indonesia. Namun, bukan berarti kita punya hak untuk menghakimi bangsa Indonesia yang memutuskan untuk mengenalkan karakter diri sebagai bagian bangsa dengan cara lain, seperti belajar, bekerja, dan berkeluarga di luar negeri, bahkan hingga mengganti dokumen kewarganegaraan yang berbeda dengan sebutan anti-nasionalis.❗ Mereka tetap bagian dari Indonesia. Jika jiwanya sudah berbeda, tapi raganya masih dan akan selalu menggambarkan Indonesia. Bahkan selera lidah pun tetap Indonesia.😋
Bangsa Indonesia dan jiwa muda lainnya,
nasionalisme lebih dari sekadar semua itu,
lebih dari sekadar lahir dan berkiprah di negeri maritim,
lebih dari sekadar mampu berbahasa Indonesia sesuai EYD,
lebih dari sekadar keputusan untuk mengejar pendidikan dalam negeri,
lebih dari sekadar bekerja bersama dan bagi pemerintah,
lebih dari sekadar menikah satu kebangsaan,
dan lebih dari sebuah dokumen penanda legalitas bagian dari ibu pertiwi.
Semoga,
kita semua dapat merenung bersama,
menilik ulang apa arti nasionalisme bagi kita secara pribadi,
apakah benar segala pikir, rasa, dan langkah kita menggambarkan nasionalisme itu?
agar sanubari senantiasa terberi,
mari terus belajar memberi dan berbakti.